Setelah lima tahun melalui masa-masa indah bersama Nikon D40 kesayangan, tiba waktunya buat saya untuk
berpisah
upgrade bodi, meski bisanya lagi-lagi cuma beli kamera yang kelas pemula. Awal bulan ini saya mendapat diskon spesial dari toko sponsor yaitu Tokocamzone sehingga saya bisa membawa pulang Nikon D5100 yang cukup lama saya incar, dan kali ini saya coba tuliskan review kecil-kecilan untuk sekedar berbagi pada pembaca sekalian.
berpisah
upgrade bodi, meski bisanya lagi-lagi cuma beli kamera yang kelas pemula. Awal bulan ini saya mendapat diskon spesial dari toko sponsor yaitu Tokocamzone sehingga saya bisa membawa pulang Nikon D5100 yang cukup lama saya incar, dan kali ini saya coba tuliskan review kecil-kecilan untuk sekedar berbagi pada pembaca sekalian.
Nikon meluncurkan D5100 sebagai jawaban untuk Canon 600D sepuluh bulan yang lalu. Sekedar mengingatkan, meski D5100 maupun 600D masih tergolong kamera DSLR kelas pemula, tapi harga keduanya cukup mahal. Jadi tak heran kalau kedua kamera ini seperti kurang populer, misalnya orang yang dananya terbatas akan lebih tertarik pada D3100 atau Canon 1100D, atau 550D. Bagi yang dananya lebih mungkin akan lebih tertarik pada Nikon D90 atau Canon 60D. Lalu mengapa saya memilih D5100? Simak review dan kesimpulan yang saya buat selengkapnya.
Nikon D5100 dijual satu paket bersama lensa kit 18-55mm VR sehingga sudah bisa dipakai untuk mulai memotret. Kamera ini menjadi penerus dari D5000 yang dikenal sebagai kamera DSLR Nikon pertama yang layarnya bisa dilipat. Desain layar lipat D5000 banyak dikritik karena flip down, sehingga tidak aneh kalau di D5100 desain flip LCD ini diperbaiki menjadi flip kesamping kiri (lebih umum). Sebagai DSLR pemula, D5100 masih memiliki banyak kesamaan dengan adiknya D3100, yaitu bodi plastik, tanpa motor fokus, modul metering 420 piksel RGB yang kuno (D40 saya sudah memakai modul ini 5 tahun yang lalu), viewfinder cermin (bukan prisma), minim tombol akses langsung dan tidak ada layar LCD kecil di bagian atas.
Tinjauan fisik
Nikon D5100 yang saya beli buatan Thailand, entah sebelum atau sesudah banjir besar yang menggenangi pabrik Nikon di Thailand beberapa bulan silam. Saya coba positive thinking aja, semoga tidak ada masalah dengan kualitas dan kinerjanya. Saya rasakan kualitas bahan dari bodi D5100 masih sama seperti Nikon lainnya yaitu kokoh, sambungannya rapat dan tidak ada kesan longgar / ringkih. Sayangnya tombol empat arah terasa kurang enak ditekan, seperti terlalu empuk. Paling menyebalkan adalah pintu SD card di sebelah kanan yang terasa agak longgar meski saat kondisi tertutup.
Tidak banyak perbedaan ukuran yang berarti antara D40 dengan D5100, keduanya sama-sama kecil dan ringan, lagi-lagi gripnya terasa agak kekecilan untuk tangan saya. Tapi saya menyukai lapisan karet di bagian grip dan tumpuan jempol kanan yang memberi kenyamanan ekstra saat menggenggam. Desain D5100 sepintas mirip dengan DSLR Nikon lain bila dilihat dari depan, tapi begitu dilihat dari belakang barulah tampak sangat banyak perubahan tata letak tombol. Hal ini akibat engsel layar lipat yang kini berada di kiri, sehingga harus mengusir banyak tombol yang biasanya berderet di sebelah kiri. Jadilah tombol MENU dan INFO pindah ke bagian atas, sementara tombol PLAYBACK, ZOOM IN dan ZOOM OUT pindah ke bagian sisi kanan. Bagi yang biasa memakai kamera DSLR Nikon pasti akan merasa aneh saat pertama memakai D5100 karena banyaknya perubahan tata letak tombol. Tapi bagaimanapun Nikon tetap melakukan reposisi tombol dengan apik, tidak terkesan ‘berantakan’ dan masih mudah dijangkau oleh jempol kanan kita (kecuali tombol MENU yang perlu memakai jempol kiri). Alhasil saya pun tidak kesulitan saat beradaptasi dengan migrasi tombol-tombol tersebut. Toh sisi baiknya juga ada, saya jadi bisa mengoperasikan kamera dengan satu tangan karena mayoritas tombol bisa diakses oleh jempol kanan saya.
Satu hal yang saya suka dari bodi D5100 adalah layar LCD-nya. Selain ketajaman layar yang sangat baik (900 ribu piksel), saya juga suka desain lipatnya yang fleksibel, dan bisa diputar dengan posisi layar masuk ke dalam bodi untuk melindungi layar saat tidak dipakai. Nikon D5100 punya dua sensor remote, satu di bagian depan dan satu di belakang (dekat tombol MENU). Di bagian atas tampak ada tombol warna merah khusus untuk merekam video. Di sisi kiri ada pintu karet yang bila dibuka akan tampak beberapa port seperti untuk USB (dan multifungsi dengan kabel AV), HDMI, GPS dan mic eksternal. Di bagian bawah ada pintu untuk melepas baterai. Desain slot baterai sudah semakin baik dengan sistem pengaman sehingga bila tutup baterai dibuka, baterai tidak langsung meluncur lepas dari kamera.
Lihatlah D5100 dengan posisi layar terbuka seperti di atas. Konsep layar begini semestinya bisa diterapkan di semua DSLR karena bisa berguna saat kamera diangkat tinggi-tinggi atau memotret sambil jongkok (dengan mode live-view tentunya). Layar lipat begini juga enak untuk dipakai merekam video dengan angle yang sulit.
Fitur dan menu
Kamera D5100 termasuk kamera pemula dengan fitur lengkap. Beda dengan D3100 yang fiturnya cukup basic, maka pada D5100 beberapa setting yang lebih canggih disertakan juga seperti HDR mode, 14 bit RAW, bracketing, berbagai level Active D-Lighting dan berbagai Effect mode. D5100 juga punya sensor yang lebih tinggi resolusinya (16 MP vs 14 MP), ISO maksimum yang lebih tinggi (6400 vs 3200), burst lebih cepat (4 fps vs 3 fps) dan punya layar LCD yang tajam (900 ribu piksel vs 230 ribu) serta bisa dilipat. Tapi D5100 dan D3100 sama dalam hal modul metering, modul AF dan sama-sama tidak dibekali motor fokus (jadi untuk bisa auto fokus harus pakai lensa AF-S).
Pada shooting mode selain ada mode standar Auto, P, A, S, M dan Scene Mode, terdapat juga mode Effect yang menarik, meski belum tentu dibutuhkan. Pilihan Effect yang ada diantaranya Miniature effect, Night Vision, Low Key, High Key, Sketch, Siluet dan Color swap. Justru fitur yang saya suka di D5100 adalah HDR shooting yang bisa mengambil dua foto dengan berbeda eksposur lalu menggabungkan keduanya dan menghasilkan satu gambar dengan rentang dinamis yang lebih lebar. No PC required!!
Menu di D5100 pun agak berbeda dengan D3100. Menu di D5100 lebih menyamai kamera kelas diatasnya seperti D90 atau D7000 dengan ciri punya berbagai Custom setting yang kompleks dengan kode huruf dan warna.
Soal kemampuan rekam video D5100 ini sudah sangat baik dengan full HD movie , berbagai pilihan frame rate, mode AF-F (fokus kontinu) dan mic eksternal (sayangnya built-in mic masih mono). Tidak ada kemampuan manual eksposur pada D5100 saat merekam video, kita perlu menentukan dulu bukaan yang diinginkan sebelum mulai merekam. Kabar baiknya, kita bisa mengatur level sensitivitas microphone bahkan bisa diset ke-off.
Kamera generasi baru seperti D5100 memang sudah bisa mengatur Picture Control untuk hasil JPG yang bervariasi. Dengan begitu maka kita tidak perlu mengolah foto satu persatu di komputer untuk mendapat kontras atau saturasi yang lebih tinggi atau lebih rendah. Terdapat berbagai style yang sudah diatur dari pabrik seperti Standard, Neutral, Vivid dan sebagainya. Bila mau, setiap style bisa diatur lagi parameternya seperti ketajaman, kontras, kecerahan, saturasi dan tone (hue) warna. Dengan demikian maka setiap pemilik kamera D5100 bisa menyimpan style yang berbeda sesuai selera.
Fitur bracketing berguna untuk mengambil tiga gambar yang berbeda setting, biasanya perbedaan terang gelap atau eksposur (AE). Tapi di D5100 fitur ini diperluas menjadi ada beberapa pilihan bracketing yaitu AE, WB dan ADL bracketing.
Operasi
Bagaimanapun juga kamera D5100 bukan tergolong kamera kelas menengah. Jadi jangan bayangkan ada tombol khusus misalnya untuk mengganti WB, ISO atau AF mode. Untuk itu perlu menggantinya dengan masuk ke MENU. Untungnya Nikon menyediakan jalan pintas untuk mengganti berbagai setting penting dengan menekan tombol INFO (disimbolkan dengan ) di bagian belakang. Tekan sekali tombol maka di layar akan muncul informasi penting seperti mode apa yang sedang dipakai, berapa shutter-aperture-ISO yang dipilih dan berbagai info penting lainnya. Untuk mengganti setting disana cukup tekan sekali lagi.
Terdapat berbagai drive mode di D5100, misalnya single frame (S), continuous, self timer dan Quiet shutter. Tidak seperti di D3100, opsi drive mode di D5100 harus dicari via MENU. Quiet shutter sendiri akan meredam suara cermin sehingga tidak terlalu terdengar keras meski bagi telinga saya sih hampir tidak ada bedanya.
Hasil foto bisa dilihat dengan menekan tombol playback berwarna biru. Foto yang ditampilkan di layar bisa dibuat full foto atau disertai data teknis pemotretan seperti gambar diatas.
Kinerja
Sebagai kamera DSLR pemula, saya tidak berharap kinerja tinggi dari D5100 ini. Maka begitulah, kamera ini tergolong biasa saja dalam urusan kinerja. Misalnya shutter speed maksimal ‘hanya’ 1/4000 detik dan flash sync speed hanya 1/200 detik (saya akan merindukan kemampuan sync D40 yang bisa 1/500 detik). Untuk urusan burst atau continuous shooting kamera ini hanya sekitar 4 fps saja, tapi toh masih lebih baik daripada D40 yang cuma 2,5 fps. Lalu dalam hal start up, shutter lag, shot to shot kamera ini tidak ada komplain apapun, bekerja sesuai harapan. Kabar baiknya, Nikon sudah memakai engine Expeed generasi 2 untuk D5100 yang lebih bertenaga. Terbukti saat mode Active D-Lighting diaktifkan, kamera tidak perlu waktu tambahan untuk memproses foto yang baru diambilnya. Hal ini berbeda dengan kamera generasi sebelumnya yang kalau ADL diaktifkan maka setiap memotret kamera seperti kedodoran untuk memproses ADL pada foto, yang prosesnya sekitar setengah sampai satu detik.
Kemampuan auto fokus D5100 sangat baik, dengan fleksibilitas tinggi berkat 11 titik AF (meski hanya titik tengah yang cross type) dan titik fokusnya bisa dipilih secara manual atau otomatis. Soal servo fokus, D5100 juga bisa mengikuti obyek yang bergerak (dynamic area) dan bahkan bisa mengenali obyek dari warnanya sehingga bisa mengikuti gerakan si obyek dan tetap menjaga fokus terbaiknya, meski obyek ini bergerak ke kiri kanan atau ke depan belakang, berkat adanya fitur 3D tracking AF.
Pada bagian atas kamera terdapat satu tuas untuk mengaktifkan mode live-view. Berbeda seperti tuas live-view di D3100 dan D7000 yang berada di bagian belakang kamera, tuas di D5100 ini berada di samping kanan mode dial. Jadi bila ingin memotret dengan melihat preview gambar di layar LCD, geser dulu tuas live-view ini sesuai arah panah, dan bila ingin merekam video barulah tombol warna merah ditekan. Kinerja kamera saat berada di mode live-view tergolong baik, meski untuk auto fokusnya harus beralih dari deteksi fasa (11 titik) ke deteksi kontras. Memang auto fokus saat live-view lebih lambat, tapi saya rasakan dibanding DSLR lain maka D5100 ini cukup cepat dalam mengunci fokus. Keuntungan lain dengan live-view adalah bisa mendeteksi wajah, serta di layar bisa ditampilkan pembesaran dari area tengah bidang yang difoto, berguna buat memotret makro atau saat manual fokus. Pada mode video AF-F, auto fokusnya sudah bisa melakukan continuous focus, artinya kamera akan selalu berusaha mendapat fokus meski obyeknya bergerak. Yang namanya berusaha, kadang berhasil dan kadang gagal. Jadi tetap saja fitur AF-F di mode video ini belum memuaskan. Live-view sendiri mempunyai timer sehingga setelah beberapa menit dia akan mati guna menghemat baterai dan mencegah sensor kepanasan.
Gambar di atas menunjukkan apa yang akan tampil di layar LCD saat masuk ke mode live-view. Secara umum tampilan di layar cukup jelas, cerah dan natural dengan berbagai indikator memeriahkan tampilan layar. Bila indikator ini mengganggu, cukup tekan tombol INFO dan layar akan jadi bersih dari berbagai kode dan angka. Tekan INFO sekali lagi akan memunculkan grid untuk membantu komposisi. Sayangnya tidak ada tampilan live histogram saat live-view di D5100.
Kinerja White Balance di D5100 termasuk akurat untuk Auto WB dan berbagai preset yang ada. Bila tone yang didapat dari preset WB kurang sesuai selera kita, bisa juga melakukan pengaturan lanjutan dengan menggeser tone warna di sumbu Amber-Blue atau Green-Magenta sehingga semua spektrum warna (RGB atau CMY) bisa dicapai. Sayangnya kita tidak bisa langsung memasukkan temperatur warna dalam satuan Kelvin seperti kamera lain yang kelasnya lebih canggih.
Sensor dan Hasil foto
Sensor CMOS 16 MP adalah salah satu alasan kuat saya membeli D5100. Kenapa? Bukan saya mega piksel minded sih, tapi karena sensor ini sama persis dengan yang dipakai di kamera D7000 yang terkenal paling bagus hasil fotonya, bahkan pada saat ISO tinggi. Alasan dibalik itu adalah dipakainya teknologi prossor Expeed2 14 bit yang membuat mampu merekam dynamic range lebih lebar dibanding prosesor 12 bit seperti D3100 misalnya. Bila 16 MP dirasa terlalu tinggi, tersedia pilihan 9 MP atau 4 MP di pengaturan Image Size pada MENU.
Seperti kamera lain pada umumnya, untuk menghindari menempelnya debu di sensor, di MENU sudah tersedia fitur sensor cleaning. Ada beberapa opsi pembersihan sensor pilihan seperti gambar diatas, dan proses bersih-bersih ini (yang menggetarkan sensor untuk merontokkan debu) memakan waktu 1 sampai 2 detik.
Kombinasi antara sensor dengan engine 14 bit, mode HDR aktif dan Active D-Lighting bisa menghasilkan foto dengan dynamic range yang lebih baik dari biasanya. Saya mencoba memotret sebuah kondisi umum yang pasti akan sulit mendapat dynamic range yang lengkap dengan cara biasa seperti gambar di bawah ini :
Foto diatas tampak gelap di bagian kursi dan dinding, karena metering kamera berusaha menjaga detil di area terang (jendela) sehingga area lainnya menjadi gelap. Bila kompensasi eksposur dinaikkan maka yang terjadi detil di area terang akan hilang (washout). Maka guna mendapat gambar yang lebih menyerupai mata kita melihat aslinya, saya mencoba gunakan mode HDR dengan masih ditambah Active D-Lighting ke posisi Extra High, maka hasilnya bisa menjadi seperti ini :
Tampak lebih natural kan? Detil di jendela dan di kursi serta di dinding didapat dengan berimbang. Lalu saya juga melakukan tes memotret dengan berbagai nilai ISO dan sengaja mengandalkan cahaya seadanya untuk melihat kinerja ISO D5100 dan seberapa parah noisenya di ISO tinggi. Inilah obyek yang difoto :
Dan inilah crop pada bagian tengah bola dunia (area ini mendapat cukup cahaya) pada berbagai nilai ISO :
Dan inilah bagian dari obyek yang kurang mendapat cahaya (cindera mata dari Papua) :
Nah, dari hasil crop diatas tampak jelas kalau sensor D5100 memang dahsyat. Paling tidak, sampai ISO 1600 dan cukup cahaya bisa didapat hasil foto yang masih rendah noise. Pada ISO 3200 barulah noise tampak mulai mengganggu, tapi masih cukup layak untuk dilihat. Pada ISO maksimal 6400 noise yang muncul bisa dibilang setara dengan ISO 400 pada kamera saku, dimana detil foto tampak menurun dan noise terlihat lebih berwarna-warni (chroma noise). ISO Hi-1 dan Hi-2 disediakan untuk kebutuhan marketing saja, supaya terdengar keren. Kenyataannya, ISO setinggi ini tidak cocok diberikan pada kamera DSLR dengan sensor APS-C. Lihatlah betapa parah noisenya terutama pada crop bagian gelap.
Fitur Effect mode pun beberapa diantaranya menurut saya bakal berguna suatu saat, seperti misalnya memilih satu warna dan lainnya dibuat monokrom tidak lagi dilakukan di komputer, melainkan bisa diatur sebelum memotret. Dengan memilih menjaga warna merah, maka saya bisa membuat warna selain merah jadi monokrom seperti foto berikut ini (cool…) :
Kesimpulan
Nah, akhirnya tiba juga di bagian akhir review D5100 ini. Kesimpulannya D5100 memang oke dalam urusan sensor CMOS-nya, khususnya saat berhadapan dengan kontras tinggi atau saat memakai ISO tinggi. Kombinasi antara engine 14 bit, fitur HDR dan Active D-Lighting akan banyak membantu menyelamatkan detil di area terang sekaligus area gelap. ISO 6400 yang notabene adalah ISO maksimal normal pun masih layak dipakai, plus bonus ada ISO ekspansi sampai ISO 25600 bila terpaksa (dan ada juga effect Night Vision yang bisa memotret di kondisi sangat minim cahaya, tapi hasilnya hitam putih). Efek lainnya pun menarik seperti efek miniatur (toy camera) atau selective color. Saya juga suka dengan layar LCD lipatnya yang memudahkan saat memotret atau merekam video dalam berbagai angle. Hasil foto yang bagus dengan fitur lengkap ini tidak harus ditebus dengan harga kelewat mahal, ataupun harus menjadikan kamera ini besar dan berat. D5100 tetap mungil, ringan dan sepintas mirip dengan D3100 yang sama-sama kamera pemula.
Lalu apa komprominya? Sebagai kamera seharga 7 juta, agak sayang memang kalau D5100 ini cuma dianggap kamera pemula. Karena di harga 8 jutaan ada Canon EOS 60D sebagai kamera semi pro yang tergolong murah dengan sederet fitur semi pro. Andaikata D5100 punya beberapa tombol akses langsung ke WB, ISO atau AF mode, tentu lebih menyenangkan. Lalu kamera yang cukup mahal ini tidak bisa auto fokus dengan lensa Nikon lama seperti AF atau AF-D, jadi selamat tinggal lensa jadul yang murah tapi mantap. Nikon juga belum membolehkan pemakai D5100 untuk mengatur flash eksternal secara wireless (padahal Canon EOS 600D bisa) dan belum bisa memilih nilai kelvin dari White Balance secara manual (meski preset WB dan color shift di pengaturan WB cukup canggih). Terakhir, Nikon semestinya memberikan kebebasan pemakai D5100 untuk mengatur shutter dan aperture saat merekam video, mengingat fitur video di D5100 sudah sangat baik (bila ditinjau dari resolusi video, mode fokus kontinu AF-F dan pengaturan audionya).
Itulah review yang bisa saya buat untuk sharing dengan pembaca. Intinya D5100 bagi saya laksana memiliki D7000 (dalam urusan kualitas hasil foto dan kelengkapan fitur serta menu) namun dengan bodi laksana D3100 (dalam urusan bentuk dan beratnya). Best of both world kan? Semoga review ini berguna, salam..
http://gaptek28.wordpress.com/2012/02/17/review-kamera-dslr-nikon-d5100/
0 Response to "Review kamera DSLR Nikon D5100"
Post a Comment